Kamis, 17 Desember 2009

SEPOTONG MAKAN SIANG



Short Story By: Andi Saidah

Jadi tinggal aku? Tinggal aku yang belum makan siang?? Padahal sedari tadi kuabaikan orkestra di lambungku karena menanti detak sepatu dari lantai atas mengajakku barengan makan siang. Ternyata....semua sudah makan. Payah!! Terpaksa makan sendiri.

Sebenarnya aku bisa minta ditemani oleh salah satu dari teman kantor yang berleha-leha di meja kerjanya menikmati sisa jam istirahat, tapi tak kulakukan. Tidak praktis. Sekarang sudah jam setengah dua lewat. Mengajak salah satu atau salah dua dari mereka bisa menghabiskan sisa jam istirahat lagi. Mana nunggu mereka turun dari lantai atas, nunggu mereka berdandan dulu, mau sholat dulu, mau sikat gigi dulu...dan lain2nya. Lebih bagus aku pergi sendiri.

Dan akhirnya memang aku pergi sendiri. Jam segini, warung pojok yang hanya beberapa meter dari kantorku sudah terlihat sepi. Tempatnya di sudut perempatan jalan bisa terlihat dari berbagai arah. Warung itu tidak istimewa. Tempatnyalah yang menjadikanya istimewa. Berada di poros jalan ramai depan sebuah sekolah SMP yang berdampingan dengan kantor DPC sebuah partai besar. Biasanya pada jam-jam duabelasan, pengunjungnya ramai sampai harus ngantri untuk makan ditempat.

Aku memilih tempat ini karena alasan simpel. Dekat, murah dan enak. Meski menu yang ditawarkannya tidak beragam. Toh aku kesana memang hanya untuk makan siang. Bukan berwisata kuliner.

“Gado-gadonya satu, mbak!” Pesanku sambil mengambil posisi meja favoritku, di tengah menghadap ke jalan. Meski tak berencana makan berlama-lama tapi tetap saja kupilih posisi yang menawarkan pemandangan kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang.

Aku tak sediri. Disudut lain, meja panjang yang sama denganku menghadap kedalam seorang lelaki seumuranku juga menikmati makan siangnya. Aku tersenyum dalam hati. Menyesalkan kelompotan gosipku tak ikut kali ini. “Sayang...kalian tak ikut nona-nona, ada pemandangan menarik di sini” girangku dalam hati.

Kelihatan lelaki itu baru saja memulai makan siangnya. Terlihat dari nasi campur pesanannya yang hampir masih utuh. Dia mengangguk sembari tersenyum kecil padaku, tanda permisi makan duluan. Aku ikut tersenyum mengangguk.

“Lontongnya dikurangi mbak?” Tiba-tiba mbak penjual mengejutkanku. Sesaat mataku berserobok pandang dengannya. Dengan segera kualihkan mataku pada si Mbak. “Seperti biasa aja..”jawabku sekenanya. Aduh...mbak ini, kok nanya porsi gitu di depan mahluk ini sih? Aku memaki si Mbak dalam hati. Teringat kata-kata seorang teman laki padaku yang pernah bilang, dia ilfeel berat sama perempuan-perempuan yang berdiet padahal mereka tidak bermasalah dengan bodynya. Iiih...jangan-jangan mahluk di depanku ini sealiran temanku itu. Berabe!

Hahahahaaa...Aku menertawai diriku dalam hati. Kok tiba-tiba aku memikirkan pikiran mahluk di depanku ini, padahal baru beberapa menit kujumpai. Dasar!!!

Kulihat dia makan dengan lahap. Dia seolah-olah tak merasakan kehadiranku di depannya. Kunikmati gado-gado pesananku sambil mengamatinya dengan ekor mataku.

Mungkin dia karyawan BUMN yang letaknya di belakang tak jauh dari warung ini. Dia memakai tanda pengenal yang digantung di leher. Sayang, kartunya di masukkan ke saku kemeja depan jadi tak kelihatan. Dia memakai kemeja biru muda yang disetrika rapi dan licin. Begitu pula celana biru tuanya. Terlihat rapi dan bersih.

Aku tak mencium bau minyak rambut yang tajam darinya meski kuyakin dia memakainya. Kadang-kadang aku benci pria-pria yang suka memakai minyak rambut berlebihan sampai baunya tercium kemana-mana.

Kureka-reka cerita yang akan kubagi di kantor nanti. Tentu dengan bumbu-bumbu kacang mirip gado-gado di hadapanku. Mungkin nanti aku akan ngibul, bahwa kami sudah kenalan, sampai tanya-tanya tinggal dimana segala. Kubayangkan wajah-wajah iri nona-nona di kantorku yang tega makan siang dilantai atas tanpa bilang-bilang padaku. Kubuat kalian menyesal tidak makan bareng denganku, runtukku dalam hati. Aku tersenyum menang.

Seperti diriku, kelihatannya mahluk di depanku juga terlambat makan sehingga terburu-buru mengejar sisa jam istirahat. Dibanding aku yang santai-santai karena menemukan ‘pemandangan’ lain, dia tergesa-gesa menghabiskan makanannya. Hanya dalam hitungan menit piring di hadapannya tersapu bersih. Sekali lagi dia tersenyum mengangguk padaku ketika menghabiskan teh botolnya.

Kelihatannya dia sudah selesai. Dia menggeser kursi yang didudukinya sambil menyodorkan uang kepada si Mbak. Tak ada suara. Si Mbak memberi kembaliannya sambil mengucapkan terima kasih. Dia membalasnya dengan senyuman.

Tiba-tiba...”Mbak, saya duluan yah...!” sebuah suara manja ala Olga Syaputra mampir di telingaku. Pandanganku sesaat kabur melihatnya berlalu dengan gaya gemulai. Aku mengangguk sopan. Kukuasai diri tuk tidak tertawa. Huahahhhaaaaa....dalam sekejap, hilang sudah cerita ngibul yang kususun di otakku terganti cerita ‘Olga mampir makan siang’.